Jogja Guitar Society
Guyubnya Gitaris Jogja
Beberapa waktu yang lalu saya
menyempatkan diri untuk menonton pertunjukan musik, yang berorientasi pada
instrumen gitar klasik yang bertempat pada Auditorium RRI Yogyakarta. Jogja
Guitar Night, ya ! itu adalah nama dari konser tersebut. Konser ini diprakarsai
oleh para gitaris Jogja yang memiliki kecintaan yang sama terhadap gitar
klasik, umumnya mereka berasal dari ISI, UNY, SMM, dan beberapa universitas
lain di sekitar Jogja, mereka menamai dirinya dengan nama Jogja Gitar Society
atau yang disingkat dengan JGS.
Gambar 1 : Auditorium RRI Yogyakarta
Dokumentasi Pribadi
JGS sendiri
merupakan sebuah komunitas yang terdiri dari gitaris – gitaris Yogyakarta yang
memiliki concern yang besar terhadap
perkembangan musik klasik, khususnya gitar. Sebelum terbentuknya komunitas ini,
di Jogja sendiri telah bermunculan berbagai komunitas – komunitas pendahulu,
diantaranya HIGI (Himpunan Gitaris Indonesia), dan YGO (Yogyakarta Guitar
Orchestra). Namun komunitas tersebut pada perkembangannya mengalami kelesuan
dan akhirnya meredup. Masalah – masalah ini dirasa kerap kali menghantui
komunitas – komunitas yang baru berdiri. Walaupun belum dapat dikatakan komunitas
secara utuh karena masih berumur jagung, namun harapannya JGS dapat memberikan
angin segar bagi atmosfer gitar klasik di Yogyakarta.
Beberapa
figur senior dibelakang JGS tidak dapat dipungkiri menjadi pendongkrak semangat
gitaris – gitaris muda untuk bahu – membahu menyatukan visi – misi mereka
memberikan kontribusi bagi kemajuan dunia pergitaran Jogja. Adalah Rahmat
Raharjo seorang gitaris senior yang sampai sekarang masih aktif dalam mengikuti
resital, masterclass, hingga kompetisi. Saya menganggap beliau adalah salah
satu key person dalam terbentuknya
komunitas ini.
Dalam
konser ini beberapa format yang ditawarkan oleh penyelenggara dirasa sangat
baik, mulai dari solo hingga ansamble besar. Usia penampil juga sangat beragam,
mulai dari anak – anak hingga dewasa. Awal konser diawali dengan penampilan
solo dari Mochammad Ichsan dengan Fantasia
on Theme of La Traviata karya Tarrega. Karya ini adalah adaptasi dari karya
opera La Traviatta karya Giuseppe
Verdi, yang kemudian di transkrip ke notasi gitar oleh Tarrega.
Gambar 2 : Penampilan Solo
Dokumentasi Pribadi
Kemudian penampilan berikutnya adalah Ahmad Aryo Wicaksono dengan karya Lagrima dari F. Tarrega dan The Hormonius Blacksmith dari G. F. Hendel. Yang menarik pada urutan kedua ini adalah usia penyaji yang terbilang masih dini, namun hal itu tidak menutupi Aryo untuk dapat bermain dengan baik, berbekal teknik dan musikalitas yang baik terbilang cukup membius para penonton yang hadir. Setelah dibius oleh permainan Aryo berikutnya saya disuguhkan oleh penampilan ansamble wanita yang terdiri dari beberapa universitas di Yogyakarta, adalah Queens Ensemble. Ya! Sesuai dengan namanya ansamble ini terdiri dari wanita – wanita perkasa nan anggun. Dengan membawakan Cinta Untuk Mama yang di aransir oleh Bakti Setyaji, dengan karakter aransemen yang pragmatis ensemble ini berhasil membuat audience yang hadir berubah menjadi haru biru. Selain teknik dan musik yang dirasa apik, ensemble ini juga memiliki daya tarik lain, adalah inner-beauty yang membuat mereka menjadi sorotan para audience yang hadir pada malam itu, pasalnya selama ini yang kita ketahui sebagian pemain gitar adalah pria, namun tidak pada malam itu.
Gambar 3 : Penampilan Ansamble Wanita
Dokumentasi Pribadi
Tak lama berselang, Attaca Guitar Quartet mendapatkan gilirannya untuk unjuk gigi, dengan membawakan Blue Ocean Echo yang di aransir oleh Bill Kanengiser, kuartet ini mencoba memberikan efek echo yang semula dimainkan menggunakan efek dan pengeras suara, menjadi alamiah dengan dimainkan melalui gitar – gitar mereka.
Gambar 4 : Penampilan Quartet
Dokumentasi Pribadi
Penampilan terakhir sesi pertama ditutup oleh Trio Jayadwipa, mengklaim diri jarang latihan, trio ini memberikan performa yang optimal dalam konser ini. Walaupun dirasa dalam segi teknik masih terasa kurang “gigit”. Seusai penampilan tersebut, tiba saatnya turun minum. Kira – kira sekitar 10 menit panitia memberikan kesempatan audience untuk rehat sejenak dari bayangan – bayangan nada yang menghiasi rongga – rongga imajiner mereka.
Gambar 3 : Penampilan Trio
Dokumentasi Pribadi
Gambar 2 : Penampilan Solo
Dokumentasi Pribadi
Kemudian penampilan berikutnya adalah Ahmad Aryo Wicaksono dengan karya Lagrima dari F. Tarrega dan The Hormonius Blacksmith dari G. F. Hendel. Yang menarik pada urutan kedua ini adalah usia penyaji yang terbilang masih dini, namun hal itu tidak menutupi Aryo untuk dapat bermain dengan baik, berbekal teknik dan musikalitas yang baik terbilang cukup membius para penonton yang hadir. Setelah dibius oleh permainan Aryo berikutnya saya disuguhkan oleh penampilan ansamble wanita yang terdiri dari beberapa universitas di Yogyakarta, adalah Queens Ensemble. Ya! Sesuai dengan namanya ansamble ini terdiri dari wanita – wanita perkasa nan anggun. Dengan membawakan Cinta Untuk Mama yang di aransir oleh Bakti Setyaji, dengan karakter aransemen yang pragmatis ensemble ini berhasil membuat audience yang hadir berubah menjadi haru biru. Selain teknik dan musik yang dirasa apik, ensemble ini juga memiliki daya tarik lain, adalah inner-beauty yang membuat mereka menjadi sorotan para audience yang hadir pada malam itu, pasalnya selama ini yang kita ketahui sebagian pemain gitar adalah pria, namun tidak pada malam itu.
Gambar 3 : Penampilan Ansamble Wanita
Dokumentasi Pribadi
Tak lama berselang, Attaca Guitar Quartet mendapatkan gilirannya untuk unjuk gigi, dengan membawakan Blue Ocean Echo yang di aransir oleh Bill Kanengiser, kuartet ini mencoba memberikan efek echo yang semula dimainkan menggunakan efek dan pengeras suara, menjadi alamiah dengan dimainkan melalui gitar – gitar mereka.
Gambar 4 : Penampilan Quartet
Dokumentasi Pribadi
Penampilan terakhir sesi pertama ditutup oleh Trio Jayadwipa, mengklaim diri jarang latihan, trio ini memberikan performa yang optimal dalam konser ini. Walaupun dirasa dalam segi teknik masih terasa kurang “gigit”. Seusai penampilan tersebut, tiba saatnya turun minum. Kira – kira sekitar 10 menit panitia memberikan kesempatan audience untuk rehat sejenak dari bayangan – bayangan nada yang menghiasi rongga – rongga imajiner mereka.
Gambar 3 : Penampilan Trio
Dokumentasi Pribadi
Sepuluh
menit berselang tiba saatnya untuk saya menyaksikan sesi kedua pada acara Jogja
Guitar Night. Penyaji pertama di buka oleh Putu Lia Veranika dengan Sonatine Op. 52, gubahan Lennox
Berkeley. Walaupun dibeberapa bagian masih terasa artikulasi yang terdengar
agak samar, namun sisi musikalitas Lia dirasa baik. Setelah Lia menyelesaikan
Sonatinenya, tiba giliran Jelang Bagaskara untuk unjuk kebolehan, karya yang ia
bawakan ialah Marieta yang
dikomposisi oleh Tarrega. Sebelum ke tahap eksekusi, Jelang mencoba memberikan
penjelasan tentang karya ini, dalam sambutanya ia mengungkapkan bahwa karya ini
Tarrega dedikasikan untuk anaknya yang bernama Marieta. Nada – nada minor yang dituangkan oleh Tarrega ke dalam
notasi musik, berhasil di presentasikan ulang oleh Jelang. Terdengar beberapa
teknik yang digunakan diantaranya staccato,
slur, dan, harmoni. Setelah
mengharu biru dengan Marieta saatnya pasukan kuartet North South yang mencoba menangkap
atensi dari penonton. Karya yang mereka mainkan ialah Minuet in G dari JS Bach,
kurang terdengar jelas bagi saya siapa yang mengarasir saat mereka menjelaskan
diawal. Namun teknik aransemen yang digunakan cukup menarik bagi saya, salah satu
yang masih saya ingat adalah teknik canon.
Setelah memparipurnakan karya yang mereka mainkan, giliran Jogja Guitar
Society Ensemble yang naik pentas. Dalam soft
launching nya JGSE membawakan 3 buah karya, baik karya komposisi maupun
karya aransemen. Karya – karya tersebut adalah Lotus Eaters karya Andrew York, Cello
Quartet no 1 karya Bakti Setyaji, dan Rek Ayo Rek yang diaransir oleh saya
sendiri, Johanes Kristianto.
Gambar 5 : Penampilan Jogja Guitar Society Ensemble
Dokumentasi Pribadi
Dengan semangat komunitas yang tinggi JGSE pada malam itu berhasil memproklamirkan dirinya sebagai komunitas gitar yang merangkul para gitaris di Jogja untuk menyatukan visi misi mereka membangun semangat kegitarklasikan, hal itu salah satunya tersurat dalam membawakan repertoar. Mereka terlihat bahagia dan guyub dalam memainkan lagu demi lagu, saya juga menduga penampilan terakhir JGSE memberikan senyum –senyum kecil dalam diri para panitia yang telah mempersiapkan semuanya dengan suah payah dari awal acara, hingga pada puncaknya malam itu. Ansamble ini memberikan suntikan semangat dalam diri panitia dan orang – orang yang terlibat mendukung acara Jogja Guitar Night. Dalam ansamble tersebut terdiri dari gitaris dari beberapa institusi pendidikan di Yogyakarta, diantaranya adalah ISI, UNY, Pasca UNY, UGM, dan Atma Jaya. Sedikit bercerita, pada tahun 2009 dan atau 2010 bertempat di Wisma 76, Slipi, Jakarta Pusat. Saya pernah menonton langsung ansamble dari Jojga, yang terdiri dari mahasiswa musik dari beberapa kampus di Jojga. Namun saat itu partisipan dari kampus lain selain UNY dan ISI tidak nampak dalam barisan ansamble saat itu. Berbeda dengan sekarang, kini berkat figur, komunitas, dan ruang yang baru. Ke depannya komunitas ini dapat memberikan ruang bagi para seniman – seniman untuk berkarya, khususnya dalam musik klasik.
Gambar 5 : Penampilan Jogja Guitar Society Ensemble
Dokumentasi Pribadi
Dengan semangat komunitas yang tinggi JGSE pada malam itu berhasil memproklamirkan dirinya sebagai komunitas gitar yang merangkul para gitaris di Jogja untuk menyatukan visi misi mereka membangun semangat kegitarklasikan, hal itu salah satunya tersurat dalam membawakan repertoar. Mereka terlihat bahagia dan guyub dalam memainkan lagu demi lagu, saya juga menduga penampilan terakhir JGSE memberikan senyum –senyum kecil dalam diri para panitia yang telah mempersiapkan semuanya dengan suah payah dari awal acara, hingga pada puncaknya malam itu. Ansamble ini memberikan suntikan semangat dalam diri panitia dan orang – orang yang terlibat mendukung acara Jogja Guitar Night. Dalam ansamble tersebut terdiri dari gitaris dari beberapa institusi pendidikan di Yogyakarta, diantaranya adalah ISI, UNY, Pasca UNY, UGM, dan Atma Jaya. Sedikit bercerita, pada tahun 2009 dan atau 2010 bertempat di Wisma 76, Slipi, Jakarta Pusat. Saya pernah menonton langsung ansamble dari Jojga, yang terdiri dari mahasiswa musik dari beberapa kampus di Jojga. Namun saat itu partisipan dari kampus lain selain UNY dan ISI tidak nampak dalam barisan ansamble saat itu. Berbeda dengan sekarang, kini berkat figur, komunitas, dan ruang yang baru. Ke depannya komunitas ini dapat memberikan ruang bagi para seniman – seniman untuk berkarya, khususnya dalam musik klasik.
Komentar
Posting Komentar